disusun dan disarikan dari tulisan-tulisan dan komentar-komentar pada halaman web Naipospos Online
Raja Naipospos mempunyai 2 (dua) orang isteri yang merupakan kakak-beradik (marpariban) boru Pasaribu.
Raja Naipospos memiliki dua isteri karena ia tidak sabar menunggu keturunan dari isteri I (pertama) boru Pasaribu. Sehingga secara diam-diam ia mengambil isteri II (kedua) yang adalah adik kandung satu bapak dari isteri I (pertama). Tanpa diduga isteri I (pertama) dan II (kedua) sama-sama mengandung.
Isteri pertama lebih dahulu melahirkan putera bagi Raja Naipospos yang kemudian diberi nama Donda Hopol, dengan harapan agar manghopol (memegang teguh atau mengayomi) adik-adiknya.
Kemudian isteri kedua pun melahirkan putera bagi Raja Naipospos dan diberi nama Marbun.
Isteri pertama kembali melahirkan 3 (tiga) orang putera lagi bagi Raja Naipospos, yaitu: Donda Ujung, Ujung Tinumpak, Jamita Mangaraja.
Putera dari isteri II (kedua) hanyalah Marbun, namun sejak 1983 sebagian kecil keturunan Naipospos berpendapat bahwa Marbun adalah putera sulung. Sesuai dengan adat istiadat Batak, Marbun bukanlah putera sulung, melainkan yang bungsu, karena dilahirkan oleh isteri kedua dan tidak lahir lebih dahulu di antara putera-puteri Raja Naipospos.
Jadi, putera Raja Naipospos adalah sebanyak 5 (lima) orang, yaitu:
- Donda Hopol, yang merupakan cikal-bakal marga Sibagariang.
- Donda Ujung, yang merupakan cikal-bakal marga Hutauruk
- Ujung Tinumpak, yang merupakan cikal-bakal marga Simanungkalit
- Jamita Mangaraja, yang merupakan cikal-bakal marga Situmeang
- Marbun, yang merupakan cikal-bakal marga Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun Lumban Gaol
BUKTI PERTAMA
Tetapi mari kita berpikir logis.
Apakah selama itu atau bahkan hingga saat ini kah terjadi perselisihan dengan 6 (enam) marga lainnya khususnya Sibagariang dengan Marbun?
Memang jika dilihat dari segi urutan waktu lahir, Marbun lebih dahulu lahir daripada Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang. Namun karena Sibagariang lahir dari isteri I (pertama) boru Pasaribu dan yang pertama lahir daripada Marbun, maka Marbun sebagai yang satu-satunya putera Raja Naipospos dari isteri II (kedua) menjadi yang bungsu (siampudan).
Inilah yang menjadi bukti nyata hak sulung yang dimiliki Sibagariang dan bukan Marbun. Karena seandainya Sibagariang pada waktu itu atau pun di kemudian hari atau bahkan saat ini membentuk padan parhahamaranggion atau padan berpasangan dengan keturunan Marbun, maka hak sulung Sibagariang tidak akan nyata lagi. Tetapi dengan tidak turut serta dalam padan berpasangan parhahamaranggion tersebut, maka hak sulung Sibagariang nyata dan tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun sebagai putera sulung Raja Naipospos baik dari segi urutan waktu lahir maupun dari parinaon (ibunda yang melahirkan).
Sibagariang adalah putera Raja Naipospos yang lahir dari isteri I (pertama) boru Pasaribu dan yang lahir pertama sekali di antara 5 (lima) orang putera Raja Naipospos. Maka sapaan semua marga-marga keturunan Raja Naipospos adalah haha (abang) terhadap marga Sibagariang, baik sebagai tamu atau pun tuan rumah, tidak berubah oleh posisi dan kondisi.
Sedangkan sapaan antara Hutauruk-Marbun Lumbanbatu, Simanungkalit-Marbun Banjarnahor, dan Situmeang-Marbun Lumbangaol, kadang kala haha atau anggi, tergantung posisi dan kondisi, sebagai bukti tidak nyatanya hak sulung yang dimiliki Marbun.
BUKTI KEDUA
Donda Hopol mengandung makna sahala hadumaon dengan harapan agar roh (tondi) Donda Hopol masihopolan saling pegang teguh dengan roh (tondi) saudara-saudaranya.
Menurut J. Warneck (Kamus Batak Toba - Indonesia, terj. Leo Joosten, OFMCap. 1997), “Donda” mengandung arti dan makna lembut namun penuh wibawa. “Tali donda” berarti perekat. “Hopol” mengandung arti membungkus, merangkul dan melindungi. “Marhopolhopol” berarti berkumpul, berhimpun dan menyatu. Sedangkan arti dari “raja nipanhopoli” adalah raja, kepala pesta horja. Raja itu adalah kepala dari raja-raja suatu keturunan dalam beberapa perkampungan (huta) sekitar.
Jadi dalam pengertian tersebut di atas, nama Donda Hopol berarti orang yang penuh wibawa yang diharapkan merangkul, melindungi, dan menyatukan orang-orang lain di sekitarnya.
Donda Hopol lah yang pertama kali lahir di antara putera Raja Naipospos dan bukan Marbun. Sehingga Raja Naipospos memberi nama putera sulungnya (buha bajuna) Donda Hopol, dengan harapan dan doa kiranya putera sulungnya dapat manghopol adik-adiknya, sesuai dengan kepercayaan Batak. Karena tak mungkin adiknya manghopol abangnya, seandainya Marbun adalah putera sulung.
Donda Hopol mengandung arti anak sulung sebab dalam kebiasaan bangso Batak, anak sulung diharapkan melindungi, mempersatukan dan memimpin adik-adiknya.
“Alana molo tung monding pe natorasna, holan sihahaan do na matean ama alai molo anggina i ndang na matean ama i, ala adong hahana songon ama tu anggina i”.
BUKTI KETIGA
Mungkin tak banyak orang yang mengetahui pesta apakah sebenarnya yang membawa persoalan antar keturunan Raja Naipospos khususnya masalah bagi marga Sibagariang sendiri. Pesta tersebut tak lain adalah mansantihon (baca: massattihon) Raja Naipospos menjadi sesembahan atau pun sombaon.
Pada zaman dahulu seseorang yang dianggap penting atau pun memiliki kesaktian harus dipestakan (dihorjahon) sebanyak tujuh kali agar dapat menjadi sesembahan. Pesta ke-7 tersebut hanya diadakan oleh pihak keturunan Raja Naipospos dari isteri I (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) tanpa menunggu kehadiran pihak keturunan Raja Naipospos dari isteri II (Marbun) dari Humbang. Meskipun seluruh keturunan Raja Naipospos dari isteri I (Sibagariang-Hutauruk-Simanungkalit-Situmeang) turut serta dalam pesta tersebut tetapi masalah lebih besar dialami marga Sibagariang karena hanya oleh perintah Sibagariang-lah maka pesta ke-7 diadakan sebelum hari yang telah ditentukan.
Hal ini pun dapat menjadi sebagai bukti nyata hak sulung yang dimiliki Sibagariang. Seandainya Sibagariang bukanlah putera I (sulung) Raja Naipospos maka perintahnya tidak akan didengarkan oleh saudara-saudaranya. Karena dalam adat Batak bahwa apabila orangtua dalam keluarga sudah tiada lagi maka pengganti orangtua dalam keluarga tersebut adalah putera sulung. Namun dalam hal ini, kedudukan tidaklah boleh menjadi alasan untuk bersikap semaunya. Naingkon satahi saoloan do namarhahamaranggi.
Dalam tradisi Batak, horja dilaksanakan oleh raja horja dengan mengundang raja-raja serumpun (seketurunan) di kampung-kampung sekitar. Rupanya waktu yang disampaikan oleh Sibagariang kepada marga Marbun tidak sesuai dengan waktu yang sebenarnya sehingga marga Marbun hadir setelah pesta selesai.
Dalam tradisi Batak tentang “harajaon” dekat dengan pemahaman anak sulung. Hal itu bukan berarti bahwa selain anak sulung tidak boleh menjadi raja tetapi adik harus lebih dulu membuktikan kesaktiannya (kemampuannya) supaya boleh menduduki posisi harajaon. Prioritas anak sulung ditonjolkan dalam kebiasaan orang Batak sebagaimana diceritakan dalam pewarisan “sahala” raja dalam diri Patuan Bosar, Ompu Pulo Batu yang memangku harajaon Sisingamangaraja XII.
Tidak ada data yang terekam bahwa Sibagariang memegang harajaon sebagai raja horja karena suatu kelebihan (kemampuan) yang luar biasa tetapi itu diwariskan berdasarkan kebiasaan orang Batak yang cenderung mewariskan posisi “harajaon” kepada anak “sihahaan”. Kebiasaan itu adalah bahwa anak sulung menjadi raja horja mempersatukan dan memimpin raja-raja huta yang seketurunan di kampung-kampung sekitarnya.
BUKTI KEEMPAT
Dolok Imun adalah pusat interaksi dan penyebaran keturunan (pomparan) Naipospos.
“Adalah kebiasaan Batak Toba membuka huta pertama disamping sentrum (pusat) tanah nenek moyang adalah sihahaan, marga penguasa atau marga partano, kemudian mengikut pertambahan huta-huta lain, berserak, sesuai dengan pertambahan keturunan (marga) lain.” (Cunningham)
Dalam konteks pengertian Cunningham menjadi logis bahwa Huta Raja yakni huta ni Donda Hopol (Sibagariang) adalah huta pertama, huta anak sulung, huta partano, dan huta penguasa pada zamannya. Sebab paling dekat dengan sentrum tanah nenek moyang Raja Naipospos dan sesuai kebiasaan penyebaran bangso Batak. Donda Hopol yang tinggal di Huta Raja memiliki tanah yang luas, harta, dan sebagai penguasa di sekitarnya adalah merupakan implikasi dari posisi sihahaan yang dimilikinya.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa Marbun berada di Bakara sehingga tidak mungkin membuka huta di sekitar Dolok Imun. Tetapi pada kenyataaanya bahwa Marbun pun ada di Dolok Imun sebagaimana Donda Hopol, Donda Ujung, Ujung Tinumpak dan Jamita Mangaraja. Sulit dibuktikan bahwa lebih dahulu marga Marbun di Bakara, baru kemudian datang ke Dolok Imun.
Jadi kalau Marbun anak sulung, mengapa tidak Marbun yang membuka huta pertama di sekitar Dolok Imun sesuai kebiasaan Batak tetapi justru Donda Hopol (Sibagariang)?
Lebih jauh, kalau seandainya Marbun adalah anak sulung dari istri kedua yang semula sembunyi-sembunyi maka cermin huta Marbun sebagai anak sulung tidak mungkin tidak tampil. Sebab dalam kebiasaan bangso Batak, beristri dua atau lebih adalah sesuatu yang biasa pada zaman itu sebagaimana dikatakan.
“. . . boru ni tulang jadi parjabu bona, imbang parjabu suhat, na hinabia parjabu sitaupar piring, na hinampi parjabu soding, . . . jala sonang be di angka hakna be”.
Posisi “imbang” adalah sah dalam kebiasaan Batak Toba pada masa lalu karena itu apabila jika Marbun adalah anak sulung Raja Naipospos maka huta Marbun akan menunjukkan ciri-ciri huta Batak sebagai anak sulung. Tetapi ciri-ciri huta anak sulung justru ada pada huta Donda Hopol, bukan pada Marbun sesuai kebiasaan orang Batak yang membangun “parhutaan” pada zaman dahulu.
BUKTI KELIMA
Generasi ketiga marga Sibagariang, Raja Unggun, diperkirakan sudah lebih-kurang 450 tahun lalu, telah berdiam di Humbang Hasundutan, tepatnya di sekitar Aek Godang sekarang, Kecamatan Onan Ganjang. Perkampungan yang dibuka keturunan marga Sibagariang di daerah tersebut, yakni: Aek Godang, Lumban Dolokdolok, Pagarsinondi dan Arbaan. Tetangga perkampungan Sibagariang tersebut adalah Batusandiri, Parbotihan, yang merupakan perkampungan Marbun Banjar Nahor. Dalam suatu buku, yang berbahasa Belanda di Perpustakan STFT St. Yohanes Pematangsiantar, tentang Batak, disebutkan bahwa Batusandiri adalah salah satu perkampungan marga Marbun yang tua, sebagaimana Aek Godang merupakan perkampungan tua marga Sibagariang.
Dari generasi ke generasi, di antara perkampungan marga Sibagariang dan marga Marbun di atas, tidak pernah marga Marbun memanggil marga Sibagariang sebagai adik tetapi selalu memanggil Sibagariang sebagai abang dalam seluruh tata kekerabatan, baik dalam hidup sehari-hari maupun “ulaon adat”. Demikian pun marga Sibagariang selalu memanggil adik kepada marga Marbun. Walaupun pembelokan terhadap tarombo tersebut telah mulai masuk tetapi mayoritas marga Marbun di sana masih memanggil Sibagariang sebagai abang sampai sekarang dan tak satu pun marga Sibagariang di sana pernah memanggil marga Marbun sebagai abang tetapi memanggilnya sebagai adik.
KESIMPULAN
Sejak awal, tarombo Naipospos yang benar diakui oleh tetua dan tokoh adat Naipospos adalah Sibagariang merupakan marga yang sulung di antara keturunan Raja Naipospos. Namun akhir-akhir ini ada-ada saja yang membantah hal itu tanpa bukti yang logis dan alasan yang kuat. Tulisan ini dihadirkan demi menegaskan bahwa Sibagariang bukanlah Esau yang menganggap remeh hak sulung itu dan menjualnya, bukan juga Yakub yang mengingini hak sulung itu dan mencurinya. Tetapi memang nyata dan terbukti dan sesuai dengan penuturan tetua dan tokoh adat Naipospos di Dolok Imun, Huta Raja sebagai sentral (pusat) Naipospos bahwa Donda Hopol (Sibagariang) adalah putera sulung (siangkangan ni) Raja Naipospos dan bukan yang lain.
KUNJUNGI JUGA
* http://tarombo-naipospos.blogspot.com
* http://toga-sipoholon.blogspot.com
* http://martuasame.blogspot.com
* http://tarombo-sibagariang.blogspot.com